Senin, 31 Desember 2012

Coretan Pecundang (2)


Flashback..

“Adnan, kamu darimana sih?! Daritadi aku nyariin kamu. Sampai kapan kamu mau kaya gini? Aku capek kalau diginiin terus.” Selama empat jam aku menghubungi Adnan tidak ada balasan. Sms, telepon, facebook, twitter, semua sudah aku jelajahi dan hasinya nihil. Dan ketika smsku berbalas, aku langsung saja memarahinya.

“Maaf ya sayang, tadi aku ketiduran.”

“Tidur. Tidur. Tidur dan tidur. Ya ampun Adnan, kamu tuh ih..” Kekesalanku sudah sampai diubun-ubun. Aku tidak bisa lagi mendengar alasannya. Semua kata-kata kotor langsung aku tembakkan tanpa ampun. Hinaan, cacian, makian, aku luncurkan sebagai tanda kekesalanku. Kata “putus” juga tidak lupa menghiasi kemarahanku. Pikiran sehatku benar-benar tertutup, sudahlah aku sudah lelah!.

“Maaf. Maaf. Maaf. Aku minta maaf karena ngga bisa jadi yang kamu mau Al. aku sayang sama kamu. Aku minta maaf kalau cuma bisa bikin kamu marah dan nangis. Mungkin keputusan kamu bener. Mungkin kita emang harus pisah. Aku ngga mau nyakitin kamu lebih lagi Al. Maaf dan makasih.”

Itu sms terarkhir yang Adnan kirim untukku. Aku tidak membalasnya selama beberapa jam. Aku menenangkan diriku sendiri. Meluruskan kembali pikiranku yang kacau. Menenangkan diriku yang tidak karuan. Emosi sesaat itu telah menghancurkan semuanya.

Entah ini dibilang apa. Mungkin aku adalah perempuan yang tidak tahu malu atau memang tidak mempunyai malu sama sekali. Sehari berselang, aku kembali mengirimkan pesan singkat untuk seseorang yang telah menjadi mantan kekasihku. Dengan beribu rasa percaya diri aku mengajaknya kembali merajut kasih. Katakan jika aku bodoh, tolol, dungu, atau bahkan yang lebih dari sekedar itu. Kemana otakku? Kemana hatiku? Apa aku sudah benar-benar tidak punya akal? Setelah kejadian yang membuatnya sakit hati, aku malah dengan santainya mengajaknya balikan. So crazy
.
Aku dan Adnan memutuskan untuk bersahabat. Aku pikir itu sudah sangat lebih dari cukup bahkan sangat sangat sangat lebih. Bukankah aku menjadi yang paling beruntung? Ya, sangat beruntung. Aku putuskan menyimpan sendiri rasa ini untuk waktu yang bahkan aku sendiri tidak tahu sampai kapan aku harus menyimpannya sendirian.

Waktu terus berjalan. Aku dan Adnan memasuki gerbang kehidupan kami yang baru. Kami memasuki masa dimana kami harus bermetamorfosa dari seorang remaja menjadi dewasa. Masa dimana kami harus berpikir lebih logis, lebih cerdas, lebih kedepan. Masa yang tak akan pernah seindah masa putih abu-abu kami. Perkuliahan.

Aku dan Adnan sama-sama memasuki universitas negeri. aku mengambil jurusan kesehatan dan Adnan memilih jurusan matematika. Prestasi yang sangat membanggakan untuk kami. Aku dan Adnan masih saling memeberi semangat. Saling menghibur ketika salah satu terluka, dan ikut berbahagia ketika yang lainnya mendapatkan kebahagiaan. Semua berjalan dengan semestinya. Aku masih dengan perasaanku dan dia masih dengan perasaannya sendiri. Jujur, belum ada satupun laki-laki yang mampu menggantikan Adnan, bahkan di dunia perkuliahan sekalipun.

Dua bulan masa perkuliahan berlalu. Malam itu secara tidak sengaja aku membuka profil facebooknya. Ada satu status yang menyita perhatianku. Status yang langsung bisa aku ketahui bahwa si empunya facebook sedang jatuh cinta. Aku hanya senyum-senyum sendiri membacanya.

Esok paginya, ketika aku sedang di angkutan umum dan bersms ria dengan Adnan aku iseng bertanya tentang status itu.

“Adnan lagi suka sama cewe ya?” Tanyaku harap-harap cemas.

“Engga kok. Kata siapa?” Tanyanya balik. Aku tahu dia sedang berbohong.

“Boong, demi apa?” Aku keluarkan jurus andalanku. Memakai kata “Demi apa”, aku tahu dia tidak bisa berbohong lagi nanti.

“Iya deh, aku lagi suka sama cewe.”

DEG. Aku masih kuat hingga detik itu walaupun rasanya mataku sudah memberontak ingin segera mengalirkan apa yang tidak ku kehendaki untuk mengalir. Aku bertanya lagi dan diluar dugaanku dengan bebasnya, dengan santainya, Adnan menceritakan panjang lebar tentang sosok bidadari yang mampu menggantikan tempatku dihatinya.

“Iya Al, namanya Rara. Temen sekelas aku Al. aku sih belum deket sama dia. Cuma waktu itu aku pernah chat sama dia. Dia nge-chat aku duluan begini “Cie lagi jatuh cinta”. Eh aku keterusan ngomong gitu deh, padahal aku kan sukanya sama dia.”

Aku membaca kata demi kata yang Ia tulis. Dadaku sesak. Air mataku mulai keluar tanpa dipinta. Aku menyekanya. Aku tidak mau penumpang lain melihat aku menangis.

“Terus terus, lanjutin dong.” Aku berlagak antusias dengan ceritanya.

“Iya, terus kata dia aku harus do action Al. Kayaknya dia udah tau deh aku suka sama dia. Aku takut nih kalau beneran dia tau aku suka sama dia.”

“Nah, itu dia udah bilang do action, berarti dia udah ngasih kamu kode. Udah deketin aja terus udah dikasih sinyal tuh.” Aku menjadi orang paling munafik saat itu. Aku menangis, tapi aku terus berpura-pura senang. Aku bahagia dengan kebahagiaannya. Kertas catatan yang sedari tadi aku baca untuk ujian praktik hari itu aku remas tidak karuan. Dunia seolah ingin membunuhku saat itu juga. Salahku sendiri selalu ingin tahu masalah orang lain. Tapi nasi sudah menjadi bubur, aku harus tetap berpura-pura dengan kebahagiaanku. Demi Adnan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar