Flashback..
“Adnan,
kamu darimana sih?! Daritadi aku nyariin kamu. Sampai kapan kamu mau kaya gini?
Aku capek kalau diginiin terus.” Selama empat jam aku menghubungi Adnan tidak
ada balasan. Sms, telepon, facebook, twitter, semua sudah aku jelajahi dan
hasinya nihil. Dan ketika smsku berbalas, aku langsung saja memarahinya.
“Maaf
ya sayang, tadi aku ketiduran.”
“Tidur.
Tidur. Tidur dan tidur. Ya ampun Adnan, kamu tuh ih..” Kekesalanku sudah sampai
diubun-ubun. Aku tidak bisa lagi mendengar alasannya. Semua kata-kata kotor
langsung aku tembakkan tanpa ampun. Hinaan, cacian, makian, aku luncurkan
sebagai tanda kekesalanku. Kata “putus” juga tidak lupa menghiasi kemarahanku.
Pikiran sehatku benar-benar tertutup, sudahlah aku sudah lelah!.
“Maaf.
Maaf. Maaf. Aku minta maaf karena ngga bisa jadi yang kamu mau Al. aku sayang
sama kamu. Aku minta maaf kalau cuma bisa bikin kamu marah dan nangis. Mungkin
keputusan kamu bener. Mungkin kita emang harus pisah. Aku ngga mau nyakitin
kamu lebih lagi Al. Maaf dan makasih.”
Itu
sms terarkhir yang Adnan kirim untukku. Aku tidak membalasnya selama beberapa
jam. Aku menenangkan diriku sendiri. Meluruskan kembali pikiranku yang kacau.
Menenangkan diriku yang tidak karuan. Emosi sesaat itu telah menghancurkan
semuanya.
Entah
ini dibilang apa. Mungkin aku adalah perempuan yang tidak tahu malu atau memang
tidak mempunyai malu sama sekali. Sehari berselang, aku kembali mengirimkan
pesan singkat untuk seseorang yang telah menjadi mantan kekasihku. Dengan
beribu rasa percaya diri aku mengajaknya kembali merajut kasih. Katakan jika
aku bodoh, tolol, dungu, atau bahkan yang lebih dari sekedar itu. Kemana
otakku? Kemana hatiku? Apa aku sudah benar-benar tidak punya akal? Setelah
kejadian yang membuatnya sakit hati, aku malah dengan santainya mengajaknya
balikan. So crazy
.
Aku
dan Adnan memutuskan untuk bersahabat. Aku pikir itu sudah sangat lebih dari
cukup bahkan sangat sangat sangat lebih. Bukankah aku menjadi yang paling
beruntung? Ya, sangat beruntung. Aku putuskan menyimpan sendiri rasa ini untuk
waktu yang bahkan aku sendiri tidak tahu sampai kapan aku harus menyimpannya
sendirian.
Waktu
terus berjalan. Aku dan Adnan memasuki gerbang kehidupan kami yang baru. Kami
memasuki masa dimana kami harus bermetamorfosa dari seorang remaja menjadi
dewasa. Masa dimana kami harus berpikir lebih logis, lebih cerdas, lebih
kedepan. Masa yang tak akan pernah seindah masa putih abu-abu kami.
Perkuliahan.
Aku
dan Adnan sama-sama memasuki universitas negeri. aku mengambil jurusan
kesehatan dan Adnan memilih jurusan matematika. Prestasi yang sangat
membanggakan untuk kami. Aku dan Adnan masih saling memeberi semangat. Saling
menghibur ketika salah satu terluka, dan ikut berbahagia ketika yang lainnya
mendapatkan kebahagiaan. Semua berjalan dengan semestinya. Aku masih dengan
perasaanku dan dia masih dengan perasaannya sendiri. Jujur, belum ada satupun
laki-laki yang mampu menggantikan Adnan, bahkan di dunia perkuliahan sekalipun.
Dua
bulan masa perkuliahan berlalu. Malam itu secara tidak sengaja aku membuka
profil facebooknya. Ada satu status yang menyita perhatianku. Status yang
langsung bisa aku ketahui bahwa si empunya facebook sedang jatuh cinta. Aku
hanya senyum-senyum sendiri membacanya.
Esok
paginya, ketika aku sedang di angkutan umum dan bersms ria dengan Adnan aku
iseng bertanya tentang status itu.
“Adnan
lagi suka sama cewe ya?” Tanyaku harap-harap cemas.
“Engga
kok. Kata siapa?” Tanyanya balik. Aku tahu dia sedang berbohong.
“Boong,
demi apa?” Aku keluarkan jurus andalanku. Memakai kata “Demi apa”, aku tahu dia
tidak bisa berbohong lagi nanti.
“Iya
deh, aku lagi suka sama cewe.”
DEG.
Aku masih kuat hingga detik itu walaupun rasanya mataku sudah memberontak ingin
segera mengalirkan apa yang tidak ku kehendaki untuk mengalir. Aku bertanya
lagi dan diluar dugaanku dengan bebasnya, dengan santainya, Adnan menceritakan
panjang lebar tentang sosok bidadari yang mampu menggantikan tempatku
dihatinya.
“Iya
Al, namanya Rara. Temen sekelas aku Al. aku sih belum deket sama dia. Cuma
waktu itu aku pernah chat sama dia. Dia nge-chat aku duluan begini “Cie lagi
jatuh cinta”. Eh aku keterusan ngomong gitu deh, padahal aku kan sukanya sama
dia.”
Aku
membaca kata demi kata yang Ia tulis. Dadaku sesak. Air mataku mulai keluar
tanpa dipinta. Aku menyekanya. Aku tidak mau penumpang lain melihat aku
menangis.
“Terus
terus, lanjutin dong.” Aku berlagak antusias dengan ceritanya.
“Iya,
terus kata dia aku harus do action Al. Kayaknya dia udah tau deh aku suka sama
dia. Aku takut nih kalau beneran dia tau aku suka sama dia.”
“Nah,
itu dia udah bilang do action, berarti dia udah ngasih kamu kode. Udah deketin
aja terus udah dikasih sinyal tuh.” Aku menjadi orang paling munafik saat itu.
Aku menangis, tapi aku terus berpura-pura senang. Aku bahagia dengan
kebahagiaannya. Kertas catatan yang sedari tadi aku baca untuk ujian praktik
hari itu aku remas tidak karuan. Dunia seolah ingin membunuhku saat itu juga.
Salahku sendiri selalu ingin tahu masalah orang lain. Tapi nasi sudah menjadi
bubur, aku harus tetap berpura-pura dengan kebahagiaanku. Demi Adnan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar